Hanya manusia

Tidak, tidak perlu bicara lagi.

Bagaimana aku hanya seberkas sinar mentari di pelupuk matamu, atau bagaimana aku seolah tak memiliki telinga untuk mendengar, mendengar isi hatimu yang hanya kau katakan melalui pikiran.

Tak ada yang bisa menyuruhmu untuk menyuarakan semua itu, tidak juga aku. Apalah artinya aku, yang hanya teman yang kau jaga rahasiamu dariku. Apalah artinya teman semeja, bila ide tak sepikiran.

Diam, cukup diam saja, itu tidak masalah bagiku. Bila memang kau memilih untuk diam, aku bisa apa untuk membuat hatimu terbuka padaku.

Mungkin saja, pintu itu sebenarnya sudah tertutup sejak lama. Aku saja yang terlalu tidak peka untuk menyadarinya.

Kau meninggalkanku pun, aku tak ingin peduli. Tidak ada siapapun yang tangannya bisa kugenggam. Mungkin, hanya bayanganku yang melihat bahwa kau selalu mengulurkan tanganmu padaku.

Bahkan, tidak sekilas pandangmu menghampiriku, hanya punggungmu yang membisu di hadapanku.

Aku mungkin terlalu berlebihan, karena aku ingin membiarkan perasaanku yang terlalu peka ini untuk ada. Akan tetapi, walaupun aku berlebihan, aku bisa merasakannya, merasakan hawamu yang hilang dari udara.

Berganti dingin, yang membentuk jarum tajam menusuk diriku langsung, tiap kali kau membisu di depanku.

Aku tahu, itu sakit.

Aku juga tahu, berpikiran berlebihan itu yang membuatku sakit.

Tapi, aku tidak bisa bebal begitu saja, dengan seluruh niat yang kutanamkan dalam hati, demi prinsipku yang tidak ingin kuludahi.

Hingga aku tak tahu apa yang harus kulakukan.

Tolong, tolong aku, selamatkan aku. Aku yang bersedih tanpa air mata, karena untuk kesekian kalinya, pandangan itu tak pernah tertuju padaku.

Di manakah yang salah hingga aku tersiksa begini?

Tapi kau tidak perlu bicara lagi, seperti yang akan kau lakukan padaku.

Aku tak ingin peduli, aku hanya ingin istirahat, semua ini membuatku lelah.

‘Ah, tidak apa, diriku,’ kataku, ‘mereka hanya manusia.’

Leave a comment